Selasa, 05 Maret 2013

Gangguan Persepsi

PERSEPSI
Persepsi didefinisikan sebagai proses pengolahan mental secara sadar untuk mengorganisir dan menginterpretasikan stimulus sensorik. Semua persepsi melibatkan impuls-impuls dalam sistem saraf yang merupakan hasil dari stimulasi fisik terhadap organ-organ sensorik. Intensitas sensasi dan persepsi dipengaruhi oleh tingkat kewaspadaan (vigilance) dan perhatian (attention). Perhatian / fokus yang sangat tinggi seperti saat kita sedang berkonsentrasi secara intens atau hipnotis dapat berakibat pada sensasi atau persepsi akut yang tidak biasa – hiperesthesia, hiperacusis, atau akuitas visual yang luar biasa.

Pada keadaan defisit sensorik seperti pada orang buta, tuli, maupun anestesia, terjadi gangguan persepsi, namun persepsi masih dapat terjadi karena individu biasanya menerima informasi mengenai suatu objek melalui beberapa modalitas sensoris secara bersamaan. 

Manusia biasa beroperasi pada “average expectable environment” dimana tipe dan tingkat input sensorik sesuai dengan yang diharapkan. Stimulus yang belebihan atau tidak adekuat pada modalitas sensorik, tingkat input yang luar biasa intens, atau presentasi dari rangsangan novel yang sama sekali berbeda dari yang pernah dialami sebelumnya oleh seorang individu dapat memicu terjadinya distorsi persepsi pada sebagian besar manusia normal. Sebagai contoh, deprivasi sensori total pada suatu lingkungan artifisial yang terkontrol dapat menimbulkan ilusi auditori dan visual serta halusinasi.

Seorang indvidu pada umumnya menunjukkan persepsi yang selektif terhadap dunia, tergantung pada apa yang penting/menonjol pada saat ini dan ada pada memori, fantasi, emosi, dan nilai-nilai individu tersebut. Seorang wanita yang sedang hamil lebih mungkin untuk melihat bayi yang ada di sekitar mereka dibandingkan orang lain yang tidak disibukkan dengan hamil dan melahirkan anak.

ILUSI
Ilusi didefinisikan sebagai distorsi perseptual dalam mengestimasi ukuran, bentuk, dan hubungan spasial yang umum terjadi bahkan tanpa adanya gangguan psikiatri, terutama ketika seorang sangat lelah atau sangat terangsang. Ilusi merupakan misinterpretasi dari stimuli sensorik yang nyata seperti ketika seorang anak kecil dalam kamarnya yang gelap di malam hari melihat monster dari bayangan-bayangan di dinding.
 
Pareidolia adalah sebuah ilusi visual volunter bersifat ambigu dan aneh yang dapat dilihat ketika seorang melihat suatu gambar atau benda tertentu (awan, api, dll). Onset dan terminasi dari persepsi ini sepenuhnya bersifat volunter. 

Trailing adalah persepsi bahwa suatu objek terus bergerak diikuti sebuah after image dari benda tersebut. Fenomena ini biasa terjadi pada individu yang kelelahan atau intoksikasi mariyuana dan mescaline.


Sumber : http://2.bp.blogspot.com/-0ewMnU0xgGc/TigfPEnMsPI/AAAAAAAAAb8/bmiw1oBzVE8/ s1600/ pareidolia-dog.jpg
   
Sumber : http://farm2.static.flickr.com/1023/1400347678_5c4d9b14c1.jpg


HALUSINASI
Halusinasi merupakan persepsi yang timbul pada keadaan sadar atau bangun tanpa adanya stimulus sensorik yang berhubungan. Halusinasi biasa dialami secara privat dimana orang lain tidak dapat melihat atau mendengar persepsi yang sama. Halusinasi dapat menyerang sistem sensorik manapun dan terkadang terjadi bersamaan pada beberapa modalitas sensorik. Saat persepsi terganggu, kombinasi ilusi dan halusinasi, dan sering bersama dengan delusi, dialami bersamaan. Pada beberapa studi, 90% pasien dengan halusinasi juga mengalami delusi dan sekitar 35% pasien delusi juga megalami halusinasi. Anak-anak dan dewasa muda lebih sering menderita halusinasi tanpa delusi.

Halusinasi dialami oleh banyak orang normal pada kondisi yang tidak biasa. Diestimasikan 10-27% populasi pernah mengalami halusinasi yang memorabel, umumnya halusinasi visual.

Halusinasi Visual
Halusinasi jenis ini merupakan halusinasi yang paling umum dimaksud oleh orang yang mengalami halusinasi. Termasuk di sini fenomena melihat sesuatu yang tidak ada atau persepsi visual yang tidak sesuai dengan realitas. Halusinasi visual terjadi pada banyak kelainan neurologis dan psikiatri termasuk sindrom putus obat, toksisitas, lesi fokal SSP, migraine, schizophrenia, dan kelainan mood psikotik.

Halusinasi Auditori
Halusinasi auditori (paracusia) merupakan persepsi mendengar suara-suara tanpa adanya stimulus eksternal. Komplekstisitasnya bervariasi dari hanya mendengarkan suara berputar atau bisikan yang tidak jelas sampai mendengarkan diskusi beberapa orang mengenai pasien tersebut. Halusinasi auditori simple secara umum berhubungan dengan psikosis organik seperti delirium, kejang parsial kompleks, dan enselofati metabolik. Secara klasik halusinasi auditori dihubungkan dengan schizophrenia (terlihat pada 60-90% pasien) namun juga dapat terlihat pada pasien kelainan mood psikotik. 20% dari pasien manik dan kurang dari 10% pasien depresi juga mengalami halusinasi auditori.

Terdapat 3 jenis halusinasi auditori yang secara umum diasosiasikan dengan schizophrenia yaitu (1) suara yang berkata apa yang pasien sedang pikirkan; (2) suara yang memberikan komentar mengenai apa yang pasien lakukan; dan (3) diskusi antar 2 orang atau lebih mengenai pasien. Halusinasi suara yang terjadi pada pasien schizophrenia umumnya berada pada mood netral namun pada pasien dengan kelainan mood biasanya konsisten sesuai dengan moodnya. Pada pasien depresi psikotik, suara yang terdengar dapat bersifat kritis dan sadistik, sedangkan pada pasien mania suara biasanya menunjukkan spesialisasi dari pasien.

Selain itu juga ada halusinasi suara yang bersifat memberi perintah pada pasien. Biasanya perintah yang diberikan bersifat mengingatkan kegiatan sehari-hari seperti “Bersihkan meja” namun suara tersebut juga dapat bersifat menakutkan dan berbahaya seperti memerintahkan aksi kejahatan dan bunuh diri. Suara-suara ini umumnya bersifat memaksa dan persisten; dan kapabilitas pasien untuk mengacuhkan suara ini berbeda-beda.

Halusinasi Olfaktori
Halusinasi olfaktori (phantosmia) merupakan fenomena mencium bau dari sesuatu yang tidak ada. Umumnya bau yang tercium merupakan bau-bau yang tidak menyenangkan seperti bau busuk dan lain-lain. Phantosmia sering diakibatkan oleh kerusakan pada jaringan nervus pada sistem olfaktori yang dapat disebabkan oleh berbagai hal (infeksi, tumor, trauma, toksik, dan obat-obatan). Halusinasi olfaktori juga dapat muncul pada beberapa kasus terkait imajinasi asosiatif seperti ketika menonton film roman dimana seorang pria memberikan mawar pada wanita dan penonton merasakan bau mawar.

Halusinasi Taktil
Halusinasi taktil merupakan halusinasi adanya input sensori taktil. Salah satu jenis halusinasi taktil yang paling sering adalah formikasi dimana pasien merasakan sensasi serangga merayap pada kulit dan biasanya diasosiasikan dengan penggunaan kokain dan amphetamine jangka panjang atau withdrawal dari alkohol. Namun formikasi juga dapat terjadi akibat dari perubahan hormonal seperti menopause atau kelainan seperti neuropati perifer, demam tinggi, Lyme disease, dll.

Halusinasi Gustatorik
Halusinasi tipe ini meruapkan persepsi adanya rasa tanpa stimulus. Halusinasi ini biasanya bersifat tidak nyaman dan umum terjadi pada pasien dengan epilepsi fokal terutama epilepsi lobus temporal. Regio otak yang bertanggungjawab pada halusinasi gustatorik adalah daerah insula dan bagian atas dari fisura Sylvian.

Halusinasi Hipnagogik dan Hipnopompik
Halusinasi ini merupakan halusinasi yang sangat umum terjadi biasanya berupa halusinasi visual yang terjadi pada momen akan tidur atau transisi dari tidur menjadi bangun. Halusinasi ini dapat terjadi pada orang normal dan juga merupakan karakteristik dari orang yang mengalami narcolepsy. Pada kehilangan yang akut, lebih dari 50% pasangan melaporkan adanya halusinasi suara maupun kehadiran dari pasangan yang telah meninggal dan pada amputasi, halusinasi bayangan ekstremitas umum terjadi.



DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s comphrehensive textbook of psychiatry 9th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2009.

2. Pomerantz JR. Encyclopedia of cognitive science vol 3. London : Nature Publishing Group; 2003. p. 527-537.

3. Bernstein DA. Essentials of psychology. Cengage Learning; 2010. p. 123-124.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar