Selasa, 17 September 2013

Obesitas dan Komplikasinya

OBESITAS1
Obesitas merupakan kondisi dimana terdapat kelebihan akumulasi lemak tubuh sampai pada batas dimana hal tersebut dapat menyebabkan efek yang buruk pada kesehatan seperti penurunan angka harapan hidup dan masalah kesehatan lainnya. Pengukuran yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh dimana seseorang dianggap obesitas apabila hasil pengukuran IMT melebihi 25 untuk orang Asia dan 30 untuk orang Eropa.


Obesitas merupakan “penyebab kematian yang dapat dicegah” terbesar seiring dengan peningkatan prevalensinya baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Obesitas meningkatkan kecenderungan berbagai penyakit terutama penyakit jantung, diabetes mellitus tipe 2, beberapa jenis kanker, OSA (obstructive sleep apnea), dan osteoarthritis.


HIPERTENSI1,2
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah arterial sistemik meningkat. Hal ini berarti bahwa jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Hipertensi yang persisten merupakan faktor risiko dari penyakit stroke, infark miokardium, gagal jantung, dan aneurisma. Hipertensi diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.
Pada hipertensi primer penyebab dari kondisi hipertensi masih belum diketahui secara pasti. Hipertensi jenis ini mencakup 90-95% kasus hipertensi. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun telah diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu sedentary lifestyle, merokok, stress, obesitas (lebih dari 85% kasus terjadi pada orang dengan IMT lebih dari 25), defisiensi potassium (hipokalemia), sodium sensitivity, konsumsi alkohol, dan defisiensi vitamin D.

Hipertensi sekunder merupakan kondisi hipertensi akibat suatu penyebab yang telah diidentifikasi. Hipertensi tipe ini sangat penting untuk dikenali karena penatalaksanaannya berbeda dengan hipertensi esensial. Hipertensi jenis ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan regulasi hormon oleh sistem endokrin yang meregulasi volume plasma darah dan fungsi jantung seperti hipertiroidisme dan hipotiroidisme.

Berdasarkan data epidemiologi, obesitas merupakan suatu faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah dan juga perkembangan hipertensi. Berdasarkan studi Framingham ditemukan bahwa peningkatan berat berat badan sebesar 15% dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 18%.

Patofisiologi hipertensi pada pasien obesitas hipertensi baik anak maupun dewasa masih belum jelas. Secara karakteristik pasien memiliki aktivitas saraf simpatik yang meningkat, peningkatan level insulin, dan peningkatan aktivitas sistem RAAS. Obesitas memiliki sejumlah efek pada fungsi renal yang mengakibatkan penigkatan tekanan darah yaitu peningkatan reabsorpsi sodium, ekspansi volume intravaskular (karena aktivitas sistem saraf simpatik dan RAAS), dan kompresi fisik renal.

SLEEP DISORDERED BREATHING1,3
Sleep disordered breathing didefinisikan sebagai hilangnya pola normal pernapasan saat tidur dan berkisar dari kelainan yang ringan seperti mendengkur(snoring) sampai kelainan yang berat seperti hipoventilasi nokturnal dan gagal napas (respiratory failure) saat tidur.

Mendengkur (snoring) adalah suara bising yang disebabkan oleh aliran udara melalui sumbatan parsial saluran nafas pada bagian belakang hidung dan mulut yang terjadi saat tidur. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas melakukan stabilisasi jalan nafas pada saat tidur. Gangguan tidur dengan gejala utama mendengkur adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas, baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara berkurang atau berhenti sehingga terjadi desaturasi oksigen dan penderita berkali-kali terbangun (arousal). Arousal dan desaturasi oksigen mengakibatkan penderita OSA sering mengalami kantuk yang berlebihan pada siang hari, kelelahan, iritabilitas, gangguan perhatian, dan konsentrasi.

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia.

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang paling kuat pada OSA dimana obesitas menyebabkan penurunan ukuran upper airway dan mempengaruhi kolapsnya upper airway. Lingkar leher dapat menjadi indeks dalam mengukur deposisi lemak pada leher terutama bantalan lemak faringeal lateral dan deposisi lemak ini dapat mengarah pada penyempitan jalan udara dan OSA. Studi Imaging menunjukkan peningkatan deposisi lemak pada pasien obesitas dengan OSA. Studi lain menunjukkan bahwa pasien OSA dengan obesitas memiliki ukuran lidah yang lebih besar dan volume upper airway yang lebih kecil. Terlepas dari penyempitan saluran napas atas, deposisi lemak di dada dan perut juga memiliki kontribusi terhadap OSA. Obesitas abdominal dapat menurunkan volume paru-paru khususnya pada posisi terlentang dan mengakibatkan penurunan ukuran saluran napas atas karena volume paru-paru secara langsung mempengaruhi ukuran airway saat respirasi.


OSTEOARTHRITIS4,5,6,7,8
Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Kelainan utama pada OA adalah kerusakan rawan sendi, dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan sinovium, sehingga sendi bersangkutan membentuk efusi. Bagian tubuh yang paling sering terkena osteoarthritis adalah tulang belakang, panggul, lutut, dan pergelangan kaki. Berdasarkan patogenesisnya OA dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu osteoarthritis primer dan sekunder.

Osteoarthritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang penyebabnya masih belum diketahui secara pasti dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun perubahan lokal pada sendi Sedangkan OA sekunder merupakan OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, metabolik, inflamasi, pertumbuhan, jejas makro dan mikro, dan imobilisasi yang terlalu lama.

Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.

Dari penelitian yang dilakukan Lau et al, Yoshinori et al, dan Abbate et al, berat badan berlebih secara nyata berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada pria maupun wanita. Dati penelitian Grothe et al, obesitas tidak hanya berhubungan dengan OA pada sendi yang  menanggung beban seperti sendi lutut namun juga OA pada sendi lain (tangan dan sternoklavikula). Oleh karena itu disamping faktor mekanis yang berperan (karena peningkatan beban) diduga juga terdapat faktor metabolik dan hormonal yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut.  Peran faktor metabolik dan hormonal pada OA dan obesitas ini juga didukung oleh adanya kaitan antara OA dan penyakit jantung koroner, DM, dan hipertensi. Pasien OA memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena hipertensi dan penyakit jantung koroner dibandingkan orang tanpa OA.

DAFTAR PUSTAKA
1.       Kopelman PG, Caterson ID, Dietz WH. Clinical obesity in adults and children 3rd ed. UK: Blackwell Publishing, 2010.
2.       Kotsis, et al. Mechanism of obesity-induced hypertension. Hypertension Research, 2010; p.386-393.
3.       Saragih AR. Mendengkur “the silent killer” dan upaya penanganannya dalam meningkatkan kualitas hidup. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007.
4.       Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2009; p.2538-2541.
5.       Lau, et al. Factors associated with osteoarthritis of the hip and knee in Hong Kong Chinese: obesity, joint injury, and occupational activities.American Journal Epidemiology, 2000; 152: 855-862.
6.       Yoshimura, et al. Risk factors for knee osteoarthritis in japanese men. Modern Rheumatology, 2006; 16; 108-112.
7.       Abbate, et al. Anthropometric measures, body composition, body fat distribution, and knee osteoarthritis in women. The North American Association for the Study of Obesity, 2006; 14: 1274-1281.
8.       Grotle, et al. Obesity and osteoarthritis in knee, hip and/or hand: An epidemiological study in the general population with 10 years follow-up. BMC Musculosceletal Disorder, 2008; 9: 132.

Senin, 16 September 2013

Retinopati dan Ablasio Retina

Retinopati
Retinopati merupakan istilah umum yang digunakan untuk kelainan retina yang tidak disebabkan oleh radang. Biasanya retinopati merupakan manifestasi okuler dari penyakit sistemik yang terjadi dalam tubuh. Penyebab retinopati sangat bervariasi dan biasanya retinopati diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya. Beberapa penyakit dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan retinopati adalah :
§  Diabetes mellitus
§  Anemia
§  Penyakit Sickle Cell Anemia
§  Hipertensi dan Hipotensi
§  Arteriosklerosis
§  Oklusi pembuluh darah retina
§  Prematur pada bayi
§  Pajanan langsung terhadap sinar matahari

Sebagian besar retinopati bersifat progresif dan dapat berujung pada kebutaan atau penurunan penglihatan yang parah. Diagnosis dapat dilakukan oleh seorang dokter mata dan pengobatan dilakukan bergantung pada penyakit penyebab retinopati.

Retinopati Diabetik                       
Definisi
Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi dari penyakit diabetes mellitus yang dapat berujung pada kebutaan. Kelainan yang terjadi berupa aneurisma, melebarnya vena, perdarahan, dan eksudat lemak.

Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan salah satu penyakit penyulit diabetes yang paling penting. Hal ini karena insidensnya yang tinggi yaitu mencapai 40-50% dari penderita diabetes. 80% dari kasus retinopati diabetik terjadi pada pasien yang telah menderita diabetes selama 10 tahun atau lebih. Dari statistik yang ada didapatkan bahwa semakin lama seseorang menderita diabetes maka risiko untuk terkena retinopati diabetik semakin besar.
Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab kebutaan utama di Amerika Serikat dengan 5000 kebutaan pertahun. Sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan nomor 4. Di negara berkembang setidaknya 12% kasus kebutaan disebabkan oleh retinopati diabetik.

Klasifikasi
Bagian Mata FKUI-RSCM membuat klasifikasi untuk retinopati diabetik berdasarkan derajat keparahannya yaitu :
v  Derajat I
Terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
v  Derajat II
Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
v  Derajat III
Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak, neovaskularisasi, dan proliferasi pada fundus okuli.

Etiologi
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui dengan pasti. Namun diyakini bahwa lamanya paparan terhadap hiperglikemia menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung dari hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah pajanan terhadap penyakit ini.
Perubahan abnormal sebagian besar hematologi dan biokimia yang terjadi antara lain : 
·         Adhesif platelet yang meningkat
·         Agregasi eritrosit meningkat
·         Abnormalitas lipid serum
·         Fibrinolisis tidak sempurna
·         Abnormalitas sekresi growth hormone


Patofisiologi
ü  Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena  dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang-kadang pembuluh darah ini sangat kecil sehingga tidak dapat terlihat tanpa bantuan angiografi fluorosens. Mikroaneurisma ini merupakan kelainan diabetes mellitus dini pada mata.
ü  Perdarahan, dapat berbentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat dengan mikroaneurisma pada polus posterior. Bentuk perdarahan ini merupakan prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis yang lebih buruk daripada perdarahan yang sempit. Perdarahan ini dapat terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau karena pecahnya pembuluh darah kapiler.
ü  Dilatasi pembuluh darah vena dengan lumennya yang ireguler dan berkelok-kelok. Hal ini dapat terjadi karena kelainan sirkulasi dan terkadang disertai kelainan endotel serta eksudasi plasma.
ü  Hard exudate yaitu infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khas yaitu ireguler dan kekuningan. Eksudat ini dapat muncul dan hilang beberapa minggu. Pada awalnya terlihat oleh gambaran fluorosens sebagai kebocoran fluorosens di luar pembuluh darah. Kelainan ini terutama terdiri atas bahan-bahan lipid dan banyak ditemukan pada keadaan hiperlipoproteinemia.
ü  Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalsmoskopi akan telihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak di bagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
ü  Pembuluh darah baru atau neovaskularisasi pada retina biasanya terletak di pemukaan jaringan. Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel pembuluh darah. Tampak sebagai pembuluh darah yang berkelok-kelok, berkelompok, dan bentuk ireguler. Hal ini merupakan awal penyakit yang berat pada retinopati diabetik. Mula-mula neovaskularisasi terletak di dalam jaringan retina kemudian berkembang ke daerah preretinal dan ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menyebabkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid, maupun perdarahan badan kaca.
ü  Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.

Diagnosis
Retinopati diabetik dapat dideteksi melalui pemeriksaan mata termasuk:
Ø  Tes tajam penglihatan
Ø  Dilatasi pupil
Ø  Ophthalmoscopy
Ø  Optical coherence tomography

Manifestasi Klinis
Gejala subjektif :
§  Kesulitan membaca
§  Penglihatan kabur
§  Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
§  Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
§  Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip


Tata Laksana
Pengobatan dapat dilakukan dengan mengontrol diabetes mellitus melalui diet dan obat-obatan antidiabetes.
Terdapat 3 pengobatan utama yang sangat efektif dalam menurunkan penurunan tajam penglihatan dari retinopati diabetik. Bahkan orang dengan retinopati diabetik tahap lanjut memiliki kemungkinan 90% untuk mempertahankan penglihatannya jika mendapatkan pengobatan sebelum retinanya rusak. Ketiga pengobatan ini adalah bedah laser, injeksi triamcinolone pada mata, dan vitrectomy. Namun perlu diingat bahwa terapi ini hanya mempetahankan penglihatan pasien dan tidak menyembuhkan retinopati diabetik.

Ablasio Retina
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel masil melekat dengan membran Brunch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis.

Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.

Terdapat 3 bentuk ablasi retina yaitu :
v  Ablasi retina regmatogenosa
v  Ablasi retina eksudatif
v  Ablasi retina traksi

Patofisiologi
Ablasi Retina Regmatogenosa
Ablasi jenis ini terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh cairan vitreous yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.
Ablasi terjadi pada mata yang memiliki faktor predisposisi untuk terjadi ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pecetus untuk terjadinya ablasi retina pada mata yang berbakat. Mata yang berbakat untuk terjadinya ablasi retina adalah mata dengan miopia tinggi, pasca retinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer.

Ablasi Retina Eksudatif
Ablasi retina jenis ini terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina terjadi sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah dan koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor retrobulbar, radang uvea, dan idiopatik.
Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang atau hilang.

Ablasi Retina Traksi
Pada ablasi jenis ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat diesebabkan oleh diabetes mellitus, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat infeksi atau bedah.


Ablasi retina yang berlokalisasi pada daerah superotemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara mendadak pada ablasi retina bila lepasnya retina mengenai makula lutea.

Diagnosis
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas bergoyang. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi apabila telah terjadi neovaskularisasi glaukoma pada ablasi yang telah lama.

Tata Laksana
Pengobatan untuk ablasi retina adalah pembedahan. Sebelum dilakukan pembedahan pasien dirawat dengan mata ditutup. Pembedahan dilakukan secepat mungkin dan sebaiknya antara 1-2 hari. Pengobatan ditujukan untuk melekatkan kembali bagian retina yang lepas dengan cryotherapy atau laser.
Selain itu juga terdapat beberapa teknik bedah lainnya seperti retinopeksi pneumatik, scleral buckling, dan vitrektomi.

Daftar Pustaka
1.       Ilyas S. Ilmu penyakit mata edisi 4. Jakarta: Penerbit FKUI, 2011.
2.       Kertes PJ, Johnson TM. Evidence based eye care. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
3.       Pardianto et al. Understanding diabetic retinopathy. Mimbar Ilmiah Oftamologi Indonesia, 2005.