Rabu, 09 Juli 2014

Stroke

Definisi
Stroke atau Cerebrovascular Accident didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah ke otak yang biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah atau terdapat bekuan darah yang menyumbat aliran darah ke otak. Sebagai akibatnya, sel-sel di otak akan kekurangan nutrisi dan oksigen sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian dari sel-sel di otak. Stroke merupakan sebuah medical emergency yang harus ditangani secepat mungkin karena dapat menyebabkan kerusakan neurologis yang permanen, komplikasi, dan kematian.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, stroke diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu stroke ischemic dan stroke hemorrhagic.

Stroke ischemic disebabkan oleh penurunan aliran darah ke otak akibat adanya oklusi akut dari pembuluh darah intrakranial. Oklusi pada pembuluh darah dapat disebabkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak, emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak, dan hipoperfusi sistemik pada syok.

Stroke hemorrhagic disebabkan oleh ruptur atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga terjadi perdarahan yang menyebar ke jaringan otak dan menyebabkan kerusakan pada jaringan otak.

Selain kedua jenis stroke di atas, terdapat satu jenis stroke lagi yang disebut Transient Ischemic Attack (TIA) atau mini-stroke. TIA merupakan stroke jangka pendek yang terjadi kurang dari 24 jam. Setelah terjadi gangguan aliran darah ke otak atau serangan stroke, dengan cepat suplai oksigen dan aliran darah ke otak dapat kembali normal dan gejala yang terjadi hanya bersifat transien. Namun serangan TIA ini perlu diwaspadai karena pasien berpotensi mendapatkan serangan stroke kembali di masa mendatang.

Tanda dan Gejala
Stroke merupakan suatu keadaan yang terjadi tiba-tiba dan efek yang terjadi dapat berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada bagian otak yang mengalami kerusakan dan tingkat keparahan dari kerusakannya karena setiap bagian otak mengontrol kemampuan yang berbeda seperti berbicara, memori, berjalan, dan menelan. Tanda dan gejala yang umum terjadi pada stroke adalah :
§  Terjadi numbness atau kelemahan yang pada wajah atau ekstremitas (khususnya pada salah satu sisi tubuh)
§  Terjadi kesulitan bicara atau bicara yang sulit dimengerti
§  Kehilangan koordinasi otot dan keseimbangan
§  Kesulitan melihat pada salah satu atau kedua mata
§  Sakit kepala yang hebat
Semua tanda dan gejala di atas terjadi pada onset yang tiba-tiba dan diperlukan respon yang cepat serta penanganan sedini mungkin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Pada stroke yang parah juga dapat terjadi kehilangan kesadaran dan kemungkinan kesembuhannya sangat rendah.

Untuk meningkatkan pengenalan dan respon terhadap stroke, maka terdapat sebuah sistem yang diadvokasikan oleh Department of Health (United Kingdom), The American Stroke Association, National Stroke Association, Los Angeles Prehospital Stroke Screen, dan Cincinnati Prehospital Stroke Scale yaitu sistem FAST (Face, Arms, Speech, Time). Pada sistem ini pasien, keluarga, maupun teman dapat mengenali gejala stroke dengan melihat 3 gejala yaitu adanya kelemahan pada wajah (Face), kelemahan pada ekstremitas (Arms), kesulitan bicara atau bicara yang tidak bisa dimengerti (Speech), dan ketika ketiga gejala ini terlihat segera hubungi ambulans secepatnya (Time).

Tatalaksana
Pasien yang mengalami stroke idealnya dirawat dalam unit stroke, sebuah bangsal atau unit dalam rumah sakit yang secara khusus ditujukan untuk menangani pasien stroke. Dalam unit ini para staf kesehatan dari berbagai multidisiplin sudah terlatih secara khusus dan memiliki pengalaman dalam pengobatan stroke. Dari pengalaman berbagai pusat kesehatan,disimpulkan bahwa perawatan stroke dalam suatu unit stroke secara bermakna menurunkan angka kematian dan disabilitas serta prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien yang dirawat oleh dokter ahli stroke di bangsal umum atau bagian lainnya di rumah sakit.

Dalam penatalaksanaan stroke, sangat penting bagi dokter untuk mendiagnosis etiologi dari stroke tersebut baik stroke ischemic maupun stroke hemorrhagic. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan CT-Scan untuk melihat adanya emboli atau perdarahan pada otak.

Untuk stroke ischemic, dapat dilakukan trombolisis dengan tPA, trombektomi menggunakan kateter, angioplasti, dan stenting tergantung pada etiologi stroke ischemic serta pemberian antikoagulan untuk mencegah rekurensi stroke. Sedangkan untuk stroke hemorrhagic, dapat dilakukan evaluasi perdarahan untuk mendeteksi sumber dan penyebab perdarahan kemudian dilakukan operasi untuk memperbaikinya.

Pada pasien yang telah mengalami disabilitas dapat dilakukan rehabilitasi yang harus dilakukan sedini mungkin setelah keadaan pasien stabil. Fisioterapi pasif diberikan pada saat pasien masih berada di ruang intensif dan dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Jika pasien mengalami gangguan bicara atau menelan, dapat diberikan terapi bicara. Setelah pasien dapat berjalan, terapi fisis dan okupasi dapat diberikan agar pasien dapat mandiri.

Daftar Pustaka
1.   Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harisson’s Principles of  Internal medicine 17th edition Volume I. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.
2.    Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009.p.892-897.
3. Anonym. Symptoms and signs of stroke. October 2010. (diunduh tanggal 6 Desember 2011). Dari: http://www.nhs.uk/Conditions/Stroke/Pages/ Symptoms.aspx



Sabtu, 05 Juli 2014

Porphyria (Penyakit pada Drakula)

Porphyria merupakan penyakit metabolik akibat dari kelainan atau defisiensi dari enzim tertentu pada jalur biosintesis heme. Enzim-enzim ini paling banyak dan aktif berada pada sumsum tulang dan hati. Sebagai akibat dari defisiensi enzim tersebut, maka terdapat peningkatan dan akumulasi dari porphyrins atau prekursor-prekursornya. Akumulasi ini biasanya terjadi pada jaringan, kulit, dan ada juga yang diekskresikan dari urine dan feses. Penyakit ini dapat bermanifestasi secara neurologis atau manifestasi kulit atau keduanya.

Jalur Biosintesis Heme


Defisiensi dari enzim-enzim spesifik yang berperan dalam jalur biosintesis heme diasosiasikan dengan jenis porphyria yang spesifik pula. Misalnya defisiensi pada enzim ALAS2 (δ-Aminolevutimate synthase) merupakan X-linked protoporphyria. Munculnya manifestasi klinis dari setiap jenis porphyria juga dapat berbeda, ada yang timbul pada masa anak-anak, post-pubertas, maupun saat dewasa. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat jenis-jenis porphyria beserta defisiensi dari enzim yang terjadi.


Porphyria dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi yang mendasari yaitu porphyria hepatik dan porphyria eritropoetik. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan sumber produksi prekursor porphyrins yang berlebih yaitu dari hati (porphyria hepatik) atau dari sumsum tulang (porphyria eritropoetik). Selain itu juga terdapat klasifikasi berdasarkan gejala klinis yaitu porphyria akut dan porphyria kutan. Pada porphyria akut terjadi gejala neurologis yang diasosiasikan dengan peningkatan dari prekursor porphyrin ALA(δ-Aminolevulinic acid) dan PBG(Porphobilinogen) baik salah satu atau keduanya. Manifestasi neurologis yang umum terjadi adalah nyeri abdominal, gangguan motilitas usus (seperti diare atau konstipasi), dysesthesia, paralisis muskular, dan yang paling fatal gagal napas. Sedangkan pada porphyria kutan, terjadi fotosensitivitas yang diakibatkan transpor porphyrin dalam darah menuju kulit dari hati atau sumsum tulang. Pada kasus yang lebih jarang dapat terjadi dual porphyria yaitu defisiensi dari 2 jenis enzim dalam jalur biosintesis heme.

Mekanisme terjadinya fotosensitivitas pada pasien porphyria adalah terjadi penumpukan porphyrin di kulit. Porphyrin ini memiliki tingkat absorpsi gelombang (peak light absorption range) yang sama dengan panjang gelombang dari cahaya. Porphyrin yang telah menyerap/tereksitasi dengan cahaya ini menghasilkan radikal bebas dan ROS yang kemudiang mengakibatkan peroksidasi lipid dan crosslinking dengan membran protein, dalam hal ini eritrosit, yang berujung pada hemolisis.

Mekanisme gejala neurologis pada pasien porphyria masih belum diketahui dengan jelas. Hipotesis mengatakan bahwa prekursor-prekursor porphyrin yang menumpuk bersifat neurotoksik. Namun patofisiologi secara jelas belum dapat diketahui.

Daftar Pustaka
1. Kliegman RM, Stanton B, Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson Textbook of Pediatrics 19th ed. Elsevier;2011.

Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis
Ketoasidosis merupakan mekanisme fisiologis sebagai kompensasi dari starvasi. Pada keadaan puasa, tubuh mengubah metabolisme yang menggunakan karbohidrat menjadi oksidasi lemak. Asam lemak bebas diproduksi oleh adiposit dan dibawa ke hati melalui ikatan dengan albumin. Asam lemak bebas ini akan dipecah menjadi asetat dan kemudian ketoasid (asetoasetat dan beta-hidroksibutirat). Ketoasid ini kemudian disalurkan ke jaringan perifer (termasuk otak dan otot) untuk terjadinya oksidasi. Pada kondisi ketosis ini, diproduksi pula aseton yang menjadi aroma khas”fruity” pada pasien.
Pasien diabetes mellitus tipe 1 cenderung lebih mudah terkena ketoasidosis karena pasien dengan diabetes melitus tipe 1 secara absolut tidak dapat memproduksi insulin. Glukosa di sirkulasi tidak dapat digunakan untuk metabolisme tanpa adanya insulin sehingga jalur ketosis akan digunakan secara “maksimal”, dimana keton akan digunakan pada jaringan perifer dan terjadi ketosis.Selain itu, respon glukagon akan meningkatkan kadar glukosa darah sehingga terjadi diuresis osmotik.

Tatalaksana
Terdapat empat komponen dalam tata laksana ketoasidosis diabetikum, yaitu pemberian cairan untuk mengatasi dehidrasi, insulin, serta koreksi kalium dan bikarbonat.
Jam ke
Infus I
(NaCl 0,9%)
Infus II
(Insulin)
Koreksi K+
Koreksi HCO3
0-1
2 kolf, ½ jam
1 kolf, ½ jam


Pada jam ke-2
Bolus 180 mU/kgBB, dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%

Bila GD <200 mg/dL, kecepatan dikurangi 45 mU/jam/kgBB

Bila GD stabil 200-300 mg/dL,
Selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 unit/jam, lakukan sliding scale biasa setiap 6 jam:
Glukosa darah        Insulin SK
<200                         -
200-250                    5 U
250-300                   10 U
300-350                   15 U
>350                        20 U
Setelah sliding tiap 6 jam, dapat dihitung kebutuhan insulin harian = 3xsehari sebelum makan


50 mEq/6 jam
(dalam infus)

Bila kadar K+
<3     è 75
3-4,5 è 50
4,5-6 è 25
>6    è 0












Bila sudah sadar, beri K+ oral selama 1 minggu
Bila pH
<7   è 100 mEq
7-7,1è 50 mEq
>7,2 è 0

1-2
2 kolf
2-3
1 kolf
3-4
1 kolf
4-5
½ kolf
Bila GD <200 mg/dL, ganti Dekstrose 5%
*Pemantauan:
- kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer
- elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya tergantung keadaan
- analisis gas darah: bila pH <7 saat masuk, periksa setiap 6 jam hingga pH >7,1, selanjutnya setiap hari hingga stabil
- tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, volume urin setiap jam.
*Pengobatan umum:
- antibiotika yang adekuat
- oksigen bila PO2<80 mmHg
- heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar berat (380 mOsm/L).

Daftar Pustaka
1. Perkumpulan Endokrinologi Indinesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia. 2011
2. Skema penatalaksanaan ketoasidosis diabetik. Dalam: Petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Jakarta: Perkeni; 2008.