Rabu, 20 Maret 2013

Leukimia Limfoblastik Akut


LEUKIMIA
Leukimia adalah sebuah kelompok kelainan yang dikarakteristikan oleh akumulasi sel darah putih malignan pada sumsum tulang dan peredaran darah. Sel darah putih yang abnormal ini akan menyebabkan gejala-gejala karena (1) kegagalan sumsum tulang (misal anemia, netropenia, trombositopenia) dan (2) infiltrasi ke organ-organ (misal hati, limpa, kulit, otak, dll).

Leukimia dapat diklasifikasikan menjadi 4 klasifikasi utama yaitu leukimia akut dan leukimia kronik yang lebih lanjut masing-masing dibagi menjadi 2 subtipe lagi yaitu myeloid dan limfoid.

LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT
Leukimia jenis ini merupakan leukimia yang disebabkan akumulasi dari akumulasi limfoblas pada sumsum tulang dan salah satu keganasan paling umum pada masa kanak-kanak meskipun 20% kasus LLA ini terjadi pada dewasa. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B dan sisanya berasal dari sel T. Jika tidak diobati maka leukimia ini bersifat fatal.

EPIDEMIOLOGI
Insidens leukimia limfoblastik akut adalah sekitar 1/60000 orang pertahun dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Kasus LLA mencakup 25% dari seluruh jenis kasus kanker yang mengenai anak-anak di bawah usia 15 tahun. Adapun insidens puncak terjadi pada usia 3-5 tahun. LLA sedikit lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan wanita. Saudara kandung dari pasien LLA memiliki risiko 4x lebih besar untuk terkena berkembang menjadi LLA dan kembar monozigot dari pasien LLA memiliki risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.

KLASIFIKASI
Terdapat klasifikasi morfologi untuk leukimia limfoblastik akut dari the FAB(French-American-British) yaitu :
§  L1 : Sel Blas berukuran kecil seragam dengan sitoplasma sedikit dan nukleoli yang tidak jelas
§  L2 : Sel Blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti-sitoplasma yang rendah.
§  L3 : Sel Blas dengan sitoplasma basofilik dan bervakuola.

Pada umumnya tipe L1 lah yang sering ditemukan pada anak sedangkan kebanyakan LLA pada dewasa memiliki morfologi L2. Sekitar 95% dari seluruh tipe LLA kecuali sel B memiliki suatu ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) suatu enzim nuklear yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan imunoglobulin..

ETIOLOGI
Penyebab LLA pada orang dewasa sebagian besar masih belum diketahahui. Faktor keturunan dan sindroma predispoisisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi yang berhubungan dengan LLA adalah : (1)radiasi ionik, (2)paparan terhadap kadar benzene tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukimia, (3)merokok, (4)obat kemoterapi, (5)infeksi virus Epsrein Barr berhubungan dengan LLA, dan (6)pasien dengan sindroma Down atau Wiskott-Aldrich.

PATOGENESIS MOLEKULER
Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan pada LLA dewasa adalah t(9;22)/ BCR-ABL (30%) dan t(4;11)/ ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan sitogenetik ini berhubungan dengan prognosis yang buruk. Fusi gen BCR-ABL ini merupakan hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang dapat dideteksi dengan rt-PCR.
Pada anak-anak kelainan yang sering ditemukan adalah t(12;21)/ TEL-AML1 (30%) yang memiliki prognosis yang cukup baik.

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pasien LLA sangat bervariasi dimana pada umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstrameduler oleh sel leukimia. Gejala-gejala yang dapat ditemukan :
v  Anemia
v  Anoreksia
v  Nyeri tulang
v  Demam
v  Infeksi mulut
v  Perdarahan kulit (petechiae)
v  Hepatomegali
v  Splenomegali

DIAGNOSIS
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis LLA adalah :
Ø  Anamnesis
Ø  Pemeriksaan Fisik
Ø  Pemeriksaan Laboratorium
Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kimia darah, dll.
Ø  Foto Toraks
Ø  Pungsi Lumbal
Ø  Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang


TATALAKSANA
Terapi untuk LLA terdiri dari kontrol sumsum tulang dan penyakit sistemiknya juga pencegahan dan terapi untuk SSP. Lama rata-rata terapi LLA berkisar 1,5-3 tahun dengan tujuan untuk mengeradikasi populasi sel leukimia. Terapi LLA dibagi menjadi:
Induksi remisi
Intensifikasi atau konsolidasi 
Profilaksis SSP
Pemeliharaan jangka panjang

Terapi Induksi Remisi
Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai remisi komplit hematologik yaitu eradikasi sel leukimia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang serta kembalinya hematopoiesis normal. Terapi ini biasanya terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin. Tambahan obat lainnya bisa siklofosfamid, sitarabin, dan merkaptopurin.
Terapi prednison dan vinkristin menghasilkan remisi komplit sekitar 50% pasien LLA de novo. Penambahan antrasiklin memperbaiki remisi komplit menjadi 70-85%.

Terapi Intensifikasi
Setelah tercapai remisi komplit, dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan mengeliminasi sel leukimia residual untuk mencegah relaps dan timbulnya sel resisten obat. Terapi ini dilakukan juga pada 6 bulan kemudian. Studi dari Cancer and Leukemia Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup lebih baik pada pasien LLA yang mencapai remisi dan mendapat 2x terapi intensifikasi daripada pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protokol yang digunakan.

Profilaksis SSP
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA karena sekitar 50-75% pasien LLA yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relapps pada SSP. Profilaksis SSP terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi kranial, dan pemberian obat yang memiliki bioavaibilitas SSP tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis tinggi.

Pemeliharaan Jangka Panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin setiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2-3 tahun. Pada LLA anak terapi ini memperpanjang disease free survival namun pada LLA dewasa angka relaps tetap tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

1.  Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE. Essential hematology 5th ed. Massachussets: Blackwell Publishing. 2006.
2.   Sudoyo AW, et all. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3.   Kumar et al. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009.

Gangguan Penglihatan


GANGGUAN REFRAKSI
Pada keadaan mata normal, benda yang berada pada jarak 6 meter (20 kaki) atau lebih dapat dilihat dengan fokus. Cahaya yang datang dari benda tersebut pararel dan dapat difokuskan ke retina tanpa akomodasi. Keadaan ini disebut emetropia atau mata emetropik. Pada mata yang mengalami gangguan refraksi (disebut mata ametropik atau ametropia), mata tanpa akomodasi tidak dapat memfokuskan cahaya pararel dari objek jarak jauh.   

Klasifikasi
Terdapat 4 keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya ametropia yaitu :
ü  Miopia (rabun jauh)
ü  Hipermetropia / Hiperopia (rabun dekat)
ü  Astigmata (silinder)
ü  Presbiopia

MIOPIA
Definisi
Miopia merupakan defek refraktif dimana cahaya yang datang tidak fokus jatuh langsung ke retina namun jatuh di depannya. Hal ini menyebabkan objek atau gambar yang berada pada jarak yang jauh menjadi tidak fokus namun objek jarak dekat dapat tetap dilihat dengan fokus.

Epidemiologi
Kelainan miopia ini merupakan salah satu kelainan yang paling umum dimana terjadi pada 40% dari populasi orang di Amerika Serikat. Singapura merupakan negara dengan prevalensi miopia terbesar di dunia dimana sekitar 80% dari penduduknya mengalami miopia. Sedangkan untuk negara dengan jumlah penderita miopia terbesar di dunia adalah China dimana sekitar 400 juta dari 1,3 miliar penduduknya mengalami miopia. Secara umum miopia banyak terjadi pertama kali pada saat anak usia sekolah. Karena mata terus tumbuh pada saat masa kanak-kanak, biasanya miopia terus bersifat progresif sampai  sekitar usia 20 tahun.

Etiologi
Etiologi pasti yang menyebabkan terjadinya miopia belum diketahui dengan jelas namun terdapat 2 faktor penting yang berpengaruh dalam perkembangannya yaitu hereditas dan stress visual.

Terdapat bukti yang signifikan dari penelitian-penelitian yang dilakukan bahwa orang dapat mewarisi miopia atau memiliki tendensi lebih untuk menderita miopia jika orang tua mereka juga mengalami miopia. Namun meskipun tendensi untuk mendapat miopia dapat diwariskan, perkembangannya tetap dipengaruhi paling besar oleh bagaimana orang tersebut menggunakan matanya. Individu yang banyak melakukan aktivitas seperti membaca, bekerja dengan komputer, atau melakukan aktivitas visual yang dekat memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita miopia.

Miopia juga dapat timbul karena faktor-faktor lingkungan atau masalah kesehatan lainnya:
Ø  Beberapa orang dapat mengalami penglihatan yang kabur hanya pada malam hari. Kondisi ini disebut miopia nokturnal atau miopia malam. Hal ini disebabkan pada pencahayaan yang rendah pupil berdilatasi sehingga lebih banyak cahaya yang tidak dapat difokuskan masuk ke dalam mata. Keadaan ini lebih banyak terjadi pada orang muda dibandingkan orang tua.
Ø  Orang yang melakukan pekerjaan yang membutuhkan penglihatan jarak dekat secara intensif dapat mengalami pseudo miopia. Penglihatan jarak jauh menjadi kabur karena mereka menggunakan mekanisme akomodasi secara berlebihan. Gejala ini bersifat hanya sementara dan penglihatan dapat kembali jelas setelah mata beristirahat. Namun stress visual yang terus menerus dapat menyebabkan reduksi permanen pada penglihatan jarak jauh.
Ø  Gejala miopia juga dapat menjadi penanda variasi pada gula darah orang dengan diabetes atau indikasi awal dari perkembangan menuju katarak.

Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahan atau dioptri :
·     Miopia rendah (-3.00 dioptri atau lebih rendah)
·   Miopia sedang (-3.00 dioptri sampai -6.00 dioptri) : memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terkena pigment dispersion syndrome atau pigmentary glaucoma.
·  Miopia tinggi (di atas -6.00 dioptri): memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terkena retinal detachment dan open angle glaucoma primer.

Berdasarkan onset usia :
§  Miopia kongenital
Juga dikenal sebagai miopia infantile, muncul mulai saat lahir dan terus berlanjut sampai masa anak-anak.
§  Miopia youth onset
Muncul pada saat anak-anak atau remaja, kekuatan okuler dapat terus bervariasi sampai usia 21 tahun.  Operasi koreksi tidak dianjurkan dilakukan oleh spesialis mata sebelum mencapai usia 21 tahun.
§  Miopia adult onset
Terdapat 2 jenis yaitu early adult onset jika miopia terjadi antara usia 20-40 tahun dan late adult onset jika terjadi pada usia di atas 40 tahun.

Tanda dan Gejala
Penderita myopia akan sering mengalami sakit kepala, mudah lelah dan pusing saat mengendarai kendaraan atau memandang jauh. Bila menemukan penderita dengan gejala tersebut, maka dokter akan melakukan pemeriksaan visus/tajam penglihatan baik secara manual atau dengan komputer.

HIPERMETROPIA
Definisi
Hipermetropia merupakan keadaan dimana kekuatan pembiasan sinar pada mata tidak cukup kuat untuk memfokuskan sinar pada bintik kuning (macula lutea), sehingga mata menfokuskan sinar di belakang retina. Pada kasus hipermetropia yang ekstrim, mata tidak dapat memfokuskan objek pada jarak berapapun. Dalam keadaan mata istirahat semua sinar sejajar yang datang dari benda-benda pada jarak tak terhingga dibiaskan dibelakang retina, dan sinar-sinar divergen yang datang dari benda-benda yang jaraknya dekat dibiaskan lebih jauh lagi di belakang retina.

Etiologi
Defek pada penglihatan disebabkan oleh ketidaksempurnaan pada mata (ukuran bola mata yang terlalu pendek atau lensa yang tidak dapat berakomodasi dengan baik) yang menyebabkan kesulitan melihat objek dekat dengan fokus.

Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :
1.       Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2.       Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3.       Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata, misalnya pada usia lanjut lensa mempunyai indeks refraksi yang berkurang.

Klasifikasi
v  Hipermetropia manifes
Hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Bila dilakukan pemeriksaan mata pada seorang hipermetropia dan dapat melihat jelas (visus 6/6) dengan ∫ +3,00 akan tetapi dapat menjadi lebih jelas dengan ∫ +3,50 maka dikatakan hipermetropia manifesnya adalah ∫ +3,50.
v  Hipermetropia absolut
Hipermetropia dimana kelainan refraksi tidak dapat diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Pada contoh di atas hipermetropia absolutnya bernilai ∫ +3,00.
v  Hipermetropia fakultatif
Hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan beristirahat. Pada contoh di atas maka hipermetropia fakultatifnya adalah ∫ +3,50 dikurang ∫ +3,00 atau 0,50.
v  Hipermetropia laten
Hipermetropia tanpa siklopegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Hipermetropia laten merupakan selisih antara hipermetropia total dan manifes yang menunjukkan kekuatan tonus dari mm.siliaris. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang, makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.
v  Hipermetropia total
Hipermetropia yang ukurannya didapat sesudah diberikan siklopegia. Hasil pengukuran lensa sesudah diberikan siklopegia (hipermetropia total) lebih besar daripada hipermetropia manifes.

Tanda dan Gejala
Pada penderita hipermetropia, dirasakan sakit kepala terutama di daerah dahi atau frontal, rasa silau, dan kadang rasa juling atau melihat ganda. Pasien hipermetropia akan mengeluh matanya lelah, panas, mengantuk dan sakit karena terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang retina agar terletak di daerah macula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus-menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling kearah dalam(nasal).
Pada hipermetropia terjadi akomodasi terus-menerus sehingga timbul hipertrofi otot siliaris, yang disertai terdorongnya iris ke depan, sehingga bilik mata depan menjadi dangkal. Karena selalu berakomodasi, pupil menjadi miosis.

ASTIGMATA
Definisi
Astigmata merupakan defek optik dimana penglihatan menjadi kabur karena cahaya yang masuk dari objek tidak dapat difokuskan ke satu titik di retina. Hal ini biasanya disebabkan oleh kelengkungan kornea dan lensa yang ireguler.

Epidemiologi
Berdasarkan studi di Amerika, 28,4% anak berusia 5-17 tahun di Amerika memiliki astigmata. Beberapa studi lain menyatakan bahwa prevalensi astigmata meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Etiologi
Astigmata biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir, biasanya berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan selama hidup. Astigmata merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur, makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmata mata tesebut. Astigmat juga dapat terjadi akibat jaringan parut pada kornea atau setelah pembedahan mata. Jahitan yang terlalu kuat pada bedah mata dapat mengakibatkan perubahan pada permukaan kornea. Bila dilakukan pengencangan atau pengendoran jahitan pada kornea maka dapat terjadi astigmata akibat terjadi perubahan kelengkungan kornea.

Klasifikasi
Pada astigmata reguler, meskipun setiap meridian mempunyai daya bias tersendiri, tetapi perbedaan itu teratur, dari meridian dengan daya bias terlemah sedikit demi sedikit membesar sampai meridian dengan daya bias terkuat. Meridian dengan daya bias terlemah tegak lurus terhadapa meridian dengan daya bias yang terkuat.
Pada astigmata ireguler terdapat perbedaan refraksi yang tak teratur pada setiap meridian dan bahkan mungkin terdapat perbedaan refraksi pada meridian yang sama. Videokeratografi merupakan cara terbaik untuk mengobservasi atau melihat permukaan kornea yang ireguler. Selain itu, astigmata ireguler dapat diketahui dengan keratometer dan/atau feflex retinoskopi yang ireguler.
Selain itu astigmata juga dapat dibedakan berdasarkan lokasi meridian yang paling besar refraksinya/kelengkungannya yaitu :
ü  With the Rule Astigmatism
Kelengkungan meridian vertikal paling kuat 70-110 derajat.
ü  Against the Rule Astigmatism
Kelengkungan meridian horisontal paling kuat 160-200 derajat.
ü  Oblique Astigmatism
Meridian oblique memiliki kekuatan refraksi terbesar 20-70 derajat atau 110-160 derajat.

Tanda dan Gejala
§  Penglihatan ganda pada satu atau kedua mata
§  Melihat benda yang bulat menjadi lonjong
§  Penglihatan kabur
§  Bentukbenda berubah
§  Sakit kepala
§  Mata tegang dan pegal
§  Mata dan fisik lemah

PRESBIOPIA
Definisi
Kondisi yang umumnya mulai terjadi pada orang yang berusia di atas 40 tahun dimana mata mengalami penurunan kemampuan akomodasi secara perlahan-lahan sehingga kemampuan memfokuskan objek juga semakin berkurang seiring bertambahnya usia.

Etiologi
Presbiopia biasanya mulai muncul pada usia 40 tahun. Dengan bertambahnya usia maka  kemampuan mata untuk melihat dekat semakin berkurang. Presbiopia terjadi akibat lensa makin keras, sehingga elastisitasnya berkurang. Demikian pula dengan otot akomodasinya, daya kontraksinya berkurang sehingga tidak terdapat pengenduran zonula Zinnii yang sempurna. Orang yang lemah dengan keadaan umum yang kurang baik sering lebih cepat membutuhkan kacamata baca akibat presbiopia daripada orang sehat dan kuat.

Tanda dan Gejala
Keluhan biasanya akan muncul pada saat membaca dekat. Semua pekerjaan dekat sukar dilakukan karena penglihatan kabur. Bila dipaksakan akan muncul keluhan lain yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa pedas. Penderita presbiopia memposisikan membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca, sukar melakukan pekerjaan dengan melihat dekat terutama di malam hari, sering memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca.

NYCTALOPIA (Rabun Senja)
Definisi
Sebuah kondisi dimana individu sulit melihat atau tidak dapat pada suasana gelap atau cahaya yang sedikit. Keadaan ini dapat dideskripsikan juga sebagai adaptasi yang kurang pada kegelapan.

Etiologi
Kelainan nyctalopia ini dapat muncul dari saat lahir atau dapat juga disebabkan oleh cedera atau malnutrisi (kekurangan vitamin A). Nyctalopia juga merupakan gejala dari beberapa penyakit mata. Penyakit yang paling umum menyebabkan nyctalopia adalah retinitis pigmentosa, sebuah kelainan dimana sel batang pada retina secara perlahan kehilangan kemampuannya untuk berespon terhadap cahaya. Pada X-linked congenital stationary night blindness, individu tersebut memiliki sel batang yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja sangat buruk dari saat lahir namun kondisinya tidak semakin buruk.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Wilson F. Practical ophthalmology. 5th ed. Singapore: American Academy of ophthalmology. 2005. 65-6, 90-2.
  2. Ilyas S. Kelainan refraksi dan kacamata. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006. 1-14, 35-48.
  3. American Academy of Ophthalmology. Optics, refraction, and contact lenses. Section 3. American Academy of Ophthalmology. 2003. 118-9, 50.
  4. Twa M, Moreira S. Astigmatism and toric contact lenses. In: Mannils MJ, Zadnik K, Ghanem CC, Jose NK, editors. Contact lenses in ophthalmic practice. New York: Springer. 2004. 90-3.
  5. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. Massachusetts: Blackwell Science. 2005 22-4.
  6. Scheie HG, Albert DM. Textbook of ophthalmology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders Company. 269-70, 72-73.




Sabtu, 16 Maret 2013

Histologi Sistem Kemih

GINJAL
Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus, dan memiliki permukaan lateral yang cembung. Pelvis renalis, ujung atas ureter yang melebar, terbagi menjadi dua atau tiga kaliks mayor. Beberapa cabang yang lebih kecil yaitu kaliks minor, muncul dari setiap kaliks mayor.
Ginjal dapat dibagi menjadi korteks di luar dan medulla di dalam. Pada manusia, struktur ginjal terbagi atas 10-18 struktur berbentuk kerucut atau pyramid, yaitu pyramid medulla. Dari dasar setiap pyramid medulla, terjulur berkas-berkas tubulus yang parallel, yaitu berkas medulla / prosesus Ferreini, yang menyusup ke dalam korteks. Sebaliknya, terdapat bagian korteks yang menjorok ke arah medulla disebut kolumna renalis Bertini.
Tiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yaitu: korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis dan tebal ansa Henle, tubulus kontortus distal, dan tubulus dan duktus koligens. Terdapat dua jenis nefron: nefron kortikal dan nefron jukstamedullar.
Nefron terdiri dari korpus Malphigi dan tubulus-tubulus. Korpus Malphigi terdiri atas glomerulus dan kapsula Bowman. Lapisan dalam kapsul ini menyelubungi kapiler glomerulus disebut lapisan visceral. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskel renalis dan disebut lapisan parietal kapsula Bowman. Antara kedua lapis ini terdapat ruang urinarius yang menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler dan lapisan visceral. Setiap korpuskel ginjal memiliki kutub vascular tempat masuknya arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen, dan memiliki kutub urinarius, tempat tubulus kontortus proksimal berasal.
Lapisan parietal kapsula Bowman terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Pada kutub urinarius epitelnya berubah menjadi selapis kuboid atau silindris rendah.
Sel-sel lapisan visceral disebut podosit. Di antara sel-sel endotel bertingkap dan kapiler glomerulus dan podosit yang menutup permukaan luarnya, terdapat membrane basal yang tebal. Lapisan ini berupa sawar filtrasi yang memisahkan darah dalam kapiler dari ruang urinarius. Dengan bantuan mikroskop electron dapat dibedakan lapisan tengah yang padat electron (lamina densa) dan lapisan electron yang lebih lusen pada masing-masing sisi (lamina rara). Selain sel endotel dan podosit, kapiler glomerulus mempunyai sel mesangial yang melekat pada dindingnya.
Tubulus-tubulus nefron yang terdapat pada korteks antara lain tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal. Tubulus kontortus proksimal berukuran lebih besar dengan inti sel epitelnya tersusun berjarak. Tubulus ini memiliki banyak mikrovili pada lumennya yang membentuk brush border. Tubulus kontortus distal memiliki bentuk yang lebih bulat dengan inti sel epitelnya tersusun rapat yang terkadang akan membentuk suatu bentukan yang disebut macula densa pada apparatus juxtaglomerular.
Pada bagian medulla dapat ditemui ansa Henle segmen tipis, ansa Henle segmen tebal pars asendens, ansa Henle segmen tebal pars desendens, dan duktus koligens.
Gambar di atas merupakan gambar duktus Koligens dengan ciri khasnya yaitu epitelnya yang berbatas tegas dan sangat jelas.

KANDUNG KEMIH
Kaliks, pelvis renalis, ureter, dan kandung kemih memiliki struktur histologi dasar yang serupa dengan dinding ureter yang secara berangsur menebal sewaktu mendekati kandung kemih. Mukosa organ-organ ini terdiri atas epitel transisional dan lamina propria di jaringan ikat yang padat sampai longgar. Suatu selubung anyaman otot polos padat mengelilingi lamina propria dan organ-organ tersebut.
Epitel transisional kandung kemih dalam keadaan tidak teregang memiliki tebal lima atau enam sel, dengan sel superficial membulat dan menonjol ke dalam lumen. Sel-sel ini seringkali berbentuk poliploid atau binukleus. Bila epitel ini teregangkan ketika kandung kemih penuh dengan urin, epitel transisional hanya setebal tiga atau empat sel dan superfisialnya menjadi gepeng.

URETRA
Uretra merupakan suatu saluran yang membawa urin dari kandung kemih ke luar. Uretra pria berbeda dengan wanita. Pada pria uretra terdiri atas 4 bagian: pars prostatika, pars membranosa, pars bulosa, pars pendulosa. Uretra pars prostatika dilapisi epitel transisional. Uretra pars membranosa dilapisi epitel berlapis atau bertingkat silindris. Uretra pars bulbosa dan pendulosa dilapisi epitel bertingkat dan silindris dengan daerah epitel gepeng dan berlapis. Sedangkan uretra wanita merupakan suatu tabung dengan panjang 4-5 cm, yang dilapisi dengan epitel gepeng berlapis dan memiliki area dengan epitel silindris bertingkat.
Daftar Pustaka:
  1. Junqueira LC, Carneiro J. Teks dan Atlas Histologi Dasar Ed. 10. Penerbit buku kedokteran EGC, 2007.
  2. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology 3rd ed. Saunders, 2007. 



Selasa, 12 Maret 2013

Kanker Serviks


Kanker Serviks merupakan sebuah keganasan neoplasma yang muncul dari sel-sel yang berada pada cervix uteri. Salah satu gejala utamanya adalah perdarahan abnormal dari vagina, namun pada beberapa kasus dapat bersifat asimtomatik sampai kanker telah mengalami progresi menuju tahap lanjut.

PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Patogenesis dari karsinoma serviks telah digambarkan oleh beberapa studi epidemiologi, patologi, dan genetik molekuler. Data epidemiologik telah mengimplikasikan sebuah agen yang menular secara seksual yaitu HPV. HPV merupakan virus DNA yang dibagi berdasarkan sekuens DNA nya dan dikelompokkan berdasarkan risiko onkogenik rendah dan tinggi.

Dari segi patologi serviks, HPV tipe 16 dan 18 adalah yang paling penting dimana HPV 16 bertanggung jawab atas 60% kasus kanker serviks sedangkan HPV 18 mencakup 10% kasus. Beberapa tipe lainnya masing-masing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus.

Infeksi HPV genital merupakan hal yang sangat umum terjadi. Sebagian besar asimtomatik, tidak menyebabkan perubahan apapun pada jaringan, dan karena itu tidak terdeteksi pada tes Pap. Sebagian besar infeksi bersifat transien dan dieliminasi oleh sistem imun tubuh dalam hitungan bulan. Rata-rata, 50% infeksi HPV hilang dalam 8 bulan dan 90% infeksi hilang dalam 2 tahun. Durasi infeksi sangat dipengaruhi oleh tipe HPV dimana HPV risiko tinggi lebih sulit sembuh. Infeksi yang persisten akan meningkatkan risiko perkembangan lesi prekanker serviks.

HPV menginfeksi sel skuamosa metaplastik imatur pada squamo-columnar junction. Meskipun virus ini hanya dapat menginfeksi sel skuamosa imatur, replikasi dari HPV tetap berlangsung pada sel skuamosa yang semakin matang dan berujung pada efek sitopatik yaitu koilocytic atypia yang terdiri dari inti atipia dan halo perinuklear sitoplasmik. Untuk bereplikasi, HPV harus menginduksi sintesis DNA pada sel host. Karena HPV bereplikasi pada sel skuamosa yang semakin matang namun tidak berproliferasi, maka virus ini berusaha mereaktivasi siklus mitosis dalam sel tersebut. Studi menunjukkan bahwa HPV mengaktivasi siklus sel dengan mengganggu fungsi dari Rb dan p53, dua gen supresor tumor yang penting.

Protein virus E6 dan E7 memiliki peran penting dalam efek onkogenik HPV. Protein E6 menginduksi degradasi dari p53 melalui proteolisis ubiquitin-dependen sedangkan protein E7 membentuk kompleks dengan betuk aktif dari Rb, mempromosikan proteolisis melalui jalur proteosome.


Cervical Intraepithelial Neoplasia
Cervical Intraepithelial Neoplasia merupakan salah satu klasifikasi yang digunakan untuk membedakan tingkat keparahan dari lesi prekanker. Pada saat HPV menginfeksi sel skuamosa di serviks dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang menjadi kanker. Awalnya terjadi displasia yang dibagi menjadi 3 berdasarkan tingkat keparahannya (CIN 1-CIN 3).

Pada CIN I atau kondiloma datar terjadi displasia ringan dengan perubahan koilositik, terutama di lapisan superfisial epitel. Koilositik terbentuk karena angulasi nukleus yang dikelilingi oleh vakuolisasi perinukleus akibat efek sitopatik virus.

Pada CIN II, displasianya lebih parah, mengenai sebagian besar lapisan epitel. Kelainan ini berkaitan dengan variasi dalam ukuran sel dan nukleus serta dengan mitosis normal di atas lapisan basal. Perubahan ini disebut displasia sedang apabila terdapat maturasi epitel. Lapisan superfisial masih berdiferensiasi baik, tetapi pada beberapa kasus memperlihatkan perubahan koilositik.

Tingkat perubahan selanjutnya, yaitu CIN III, ditandai dengan kekacauan orientasi sel disertai mitosis normal atau abnormal. Perubahan ini mengenai hampir semua lapisan epitel dan ditandai dengan hilangnya pematangan. Diferensiasi sel permukaan dan gambaran koilositik sudah tidak ada. Seiring dengan waktu, perubahan displastik menjadi lebih atipikal dan mungkin meluas ke dalam kelenjar serviks, tetapi masih terbatas di lapisan epitel dan kelenjarnya. Perubahan ini menyebabkan karsinoma in situ. Selanjutnya, pada stadium lanjut berubah menjadi karsinoma invasif.


Karsinoma Serviks
Karsinoma sel skuamosa (KSS) merupakan subtipe hitologik tersering pada kanker serviks dimana mencakup sekitar 80% kasus. Setelah KSS, bentuk tumor yang lebih jarang adalah adenokarsinoma yang mencakup 15% kasus dan yang paling jarang adalah karsinoma neuroendokrin untuk 5% sisanya. Pasien dengan adenokarsinoma ataupun karsinoma neuroendokrin memiliki prognosis yang lebih buruk dan penyakit yang lebih advanced. Insidens puncak dari karsinoma serviks adalah 45 tahun.


Berdasarkan penyebaran klinis, agresifitas tumor serviks terbagi dalam stadium 1 hingga stadium 4. Setelah kanker terbentuk, prognosis bergantung dari stadium. Stadium 0 (prainvasif) harapan hidupnya 100%, diikuti dengan stadium 1 sebesar 90%, stadium 2 sebesar 82%, stadium 3 sebesar 35%, dan stadium 4 hanya 10%. Kebanyakan pasien dengan stadium 4 mati akibat ekstensi lokal dari tumor (misalnya, invasi ke kantong kemih dan ureter, menyebabkan terjadinya obstruksi uretra, pielonefritis, dan uremia) dibandingkan metastasis jauh.

Penyebaran ke kelanjar getah bening panggul ditentukan oleh kedalaman tumor dan adanya invasi ruang kapiler-limfa, yang berkisar dari kurang 1% untuk tumor dengan kedalaman kurang dari 3 mm hingga lebih dari 10% setelah invasi melebihi 5 mm. Metastasis jauh, termasuk ke nodus para-aorta, kelainan di organ jauh, atau invasi ke kandung kemih dan rektum terjadi pada tahap lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar et al. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009
2. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass  of gynecology. 6th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.




Senin, 11 Maret 2013

Cryptococcosis


Cryptococcosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari jamur Cryptococcus. Terdapat 2 spesies, Cryptococcus neoformans dan Cryptococcus gattii, yang bersifat patogenik pada manusia dan dapat menyebabkan cryptococcosis pada manusia.

ETIOLOGI
Cryptococcus neoformans merupakan jamur seperti ragi (yeast like fungus) yang tersebar dimana-mana di seluruh dunia. Jamur ini pertama kali dideskripsikan oleh Busse, seorang ahli patologi, yang berhasil mengisolasi jamur tersebut dari tibia seorang wanita berusia 31 tahun. Jamur ini merupakan penyebab utama meningitis jamur dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gangguan imunitas. Cryptococcus neoformans dapat dibedakan dari Cryptococcus gattii memiliki perbedaan secara antigen dan genetik. Cryptococcus neoformans memiliki antigen serotipe A dan D sedangkan Cryptococcus gattii memiliki antigen serotipe B dan C. 

EPIDEMIOLOGI
Cryptococcosis pertama kali dideskripsikan pada tahun 1890 namun tetap jarang sampai pertengahan abad ke 20. Kemajuan dalam diagnosis dan peningkatan individu yang mengalami imunosupresi meningkatkan prevalensi penyakit ini secara drastis. Spektrum penyakit yang disebabkan oleh infeksi Cryptococcus kebanyakan berupa meningoencephalitis dan pneumonia namun infeksi kulit dan jaringan juga dapat terjadi.
Studi serologi menunjukkan bahwa infeksi cryptococcus banyak terjadi pada individu yang mengalami imunosupresi dan sangat jarang terjadi pada individu yang memiliki sistem imun yang normal. Individu yang memiliki risiko tinggi untuk terkena cryptococcosis adalah individu dengan keganasan pada darah (hematologicmalignancies), resipien organ transplant yang sedang menjalani terapi imunosupresi, pasien yang harus menjalani terapi glukokortikoid, dan penderita infeksi HIV dan jumlah sel limfosit T CD4+ kurang dari 200/µL.
Cryptococcus neoformans dapat ditemukan di seluruh dunia. Jamur ini banyak ditemukan di tanah yang lembab  dimana terdapat akumulasi dari kotoran burung (terutama merpati). Sedangkan Cryptococcus gattii lebih banyak diremukan pada beberapa tipe pohon eucalyptus.

PATOGENESIS
Infeksi cryptococcus didapatkan melalui inhalasi partikel aerosol. Namun bentuk pasti dari partikel yang terinhalasi ini masih belum dapat dipastikan, dugaaan utama mengenai bentuk partikel terseubut adalah basidiospora dan sel yeast kecil yang kering. Pengetahuan mengenai infeksi inisial dari cryptococcus masih sangat rendah. Hasil uji serologi menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi cryptococcus didapatkan pada masa kanak-kanak namun masih belum diketahui apakah infeksi inisial ini bersifat simtomatik atau tidak. Karena infeksi cryptococcus ini sangat umum terjadi namun yang bermanifestasi menjadi penyakit sangat jarang, mekanisme pertahanan pulmoner pada individu imunokompeten diduga sangat berperan dalam menahan jamur ini.
Cryptococcosis biasanya muncul secara klinis sebagai meningoensefalitis kronik. Mekanisme bagaimana jamur dapat menyebar ekstrapulmoner dan masuk ke sistem saraf pusat masih belum diketahui dengan jelas. Mekanisme bagaimana sel cryptococcus dapat melewati sawar darah otak juga masih dipelajari secara intensif. Dari bukti yang ada, diduga migrasi langsung sel fungus menyebrangi endotelium melalui makrofag sebagai penyerbu “Trojan Horse”. Spesies ini memiliki faktor virulensi berupa kapsul polisakarida, kemampuan untuk memproduksi melanin, dan elaborasi enzim seperti fosfolipase dan urease yang meningkatkan kemampuan bertahan hidup jamur ini dalam jaringan. Infeksi dari cryptococcus diketahui tidak atau hanya sedikit memicu respon inflamasi.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang terjadi pada cryptococcosis merefleksikan tempat infeksinya. Meskipun infeksinya dapat terjadi pada berbagai organ atau jaringan, mayoritas kasus yang memerlukan perhatian klinis berhubungan dengan SSP dan paru-paru. Infeksi pada SSP biasanya ditandai dengan gejala meningitis kronik seperti sakit kepala, demam, letargi, defisit sensorik, defisit memori, paresis nervus kranial, defisit penglihatan, dan meningismus.
Cryptococcosis pulmoner biasanya ditandai dengan batuk, peningkatan produksi sputum, dan sakit dada. Pasien yang terinfeksi dengan C.gattii ditandai dengan munculnya massa granulomatosa pulmoner yang disebut cryptococcomas. Demam muncul pada sebagian kecil kasus. Kenyataannya, banyak kasus yang ditemukan secara insidental ketika dilakukan radiografi dada untuk kepentingan diagnostik lainnya. Cryptococcosis pulmoner juga dapat diasosiasikan dengan penyakit seperti keganasan, tuberculosis, dan diabetes.
Lesi kulit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien cryptococcosis yang menyebar dan dapat bermanifestasi bermacam-macam termasuk papula, plak, vesikel, purpura, dan ruam. Pada pasien cryptococcosis dengan HIV dan pasien transplantasi organ, lesi yang terjadi dapat menyerupai lesi pada moluscum contagiosum.

DIAGNOSIS
Pada diagnosis cryptococcosis, diperlukan untuk menemukan sel yeast pada jaringan normal yang steril. Visualisasi dengan tinta India untuk melihat kapsul pada analisis CSF merupakan salah satu teknik yang cepat dan efektif. Namun metode visualisasi dengan tinta India dapat memberikan hasil negatif pada pasien dengan infeksi yang rendah. Selain itu pemeriksaan ini harus dilakukan oleh individu yang terlatih karena leukosit dan globule lemak dapat disalah interpretasikan sebagai sel jamur. Kultur pada CSF dan darah yang positif mengandung sel Cryptococcus juga merupakan salah satu alat diagnosis.

Sumber : http://www.doctorfungus.org/thefungi/img/cry2_l.jpg
Sumber : http://www.msevans.com/cnsinfections/cryptococcus-wrights.jpg


TATA LAKSANA
 Dalam penatalaksanaan, kita harus memikirkan situs infeksi dan status imunologi pasien. Penyakit ini memiliki 2 pola manifestasi secara umum yaitu cryptococcosis pulmoner tanpa penyebaran ekstrapulmoner dan cryptococcosis ekstrapulmoner dengan atau tanpa meningoensefalitis.
Cryptococcosis pulmoner pada pasien imunokompeten biasanya sembuh sendiri tanpa terapi. Namun melihat kecenderungan cryptococcus untuk menyebar ekstrapulmoner, ketidakmampuan untuk mengukur status imun pasien secara tepat, dan avaibilitas dari terapi low-toxicity dalam bentuk fluconazole, maka rekomendasiuntuk pasien cryptococcosis pulmoner imunokompeten adalah dengan pemberian fluconazole (200-400mg/hari selama 3-6 bulan).
Cryptococcosis ekstrapulmoner tanpa infeksi ke SSP dapat diobati dengan regimen yang sama dan dapat ditambahkan amphotericin B (0,5-1 mg/kgBB perhari selama 4-6 minggu) untuk kasus yang lebih berat. Sedangkan untuk cryptococcosis ekstrapulmoner dengan meningoensefalitis terapi yang disarankan adalah AmB (0,5-1mg/kgBB) dan flucytosine (100mg/kgBB) untuk 6-10 minggu.
Untuk pasien dengan imunosupresi, terapi yang diberikan dalam dua bagian yaitu terapi inisial dan terapi konsolidasi. Pada pasien dengan HIV, diperlukan terapi yang agresif dan penyakit tidak dapat disembuhkan kecuali fungsi imunitas meningkat. Terapi yang diberikan adalah fluconazole (200-400mg) untuk cryptococcosis pulmoner dan ekstrapulmoner tanpa manifestasi SSP. Pada pasien dengan infeksi yang lebih berat, dapat diberikan flucytosine (100mg/kgBB) selama 10 minggu dilanjutkan terapi fluconazole. Untuk pasien dengan manifestasi SSP, dapat diberikan AmB (0,7-1mg/kgBB) ditambah flucytosine (100mg/kgBB) selama 2 minggu dilanjutkan fluconazole.

Daftar Pustaka
1. Kasper DL, Fauci AS, Longo DN, Braunwald E, Hauser S, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2011.
2. Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2009
3. Kumar et al. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009