Kanker
Serviks merupakan sebuah keganasan neoplasma yang muncul dari sel-sel yang
berada pada cervix uteri. Salah satu
gejala utamanya adalah perdarahan abnormal dari vagina, namun pada beberapa
kasus dapat bersifat asimtomatik sampai kanker telah mengalami progresi menuju
tahap lanjut.
PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Patogenesis
dari karsinoma serviks telah digambarkan oleh beberapa studi epidemiologi,
patologi, dan genetik molekuler. Data epidemiologik telah mengimplikasikan
sebuah agen yang menular secara seksual yaitu HPV. HPV merupakan virus DNA yang
dibagi berdasarkan sekuens DNA nya dan dikelompokkan berdasarkan risiko
onkogenik rendah dan tinggi.
Dari segi
patologi serviks, HPV tipe 16 dan 18 adalah yang paling penting dimana HPV 16
bertanggung jawab atas 60% kasus kanker serviks sedangkan HPV 18 mencakup 10%
kasus. Beberapa tipe lainnya masing-masing berkontribusi pada kurang dari 5%
kasus.
Infeksi HPV
genital merupakan hal yang sangat umum terjadi. Sebagian besar asimtomatik,
tidak menyebabkan perubahan apapun pada jaringan, dan karena itu tidak
terdeteksi pada tes Pap. Sebagian besar infeksi bersifat transien dan
dieliminasi oleh sistem imun tubuh dalam hitungan bulan. Rata-rata, 50% infeksi
HPV hilang dalam 8 bulan dan 90% infeksi hilang dalam 2 tahun. Durasi infeksi
sangat dipengaruhi oleh tipe HPV dimana HPV risiko tinggi lebih sulit sembuh.
Infeksi yang persisten akan meningkatkan risiko perkembangan lesi prekanker
serviks.
HPV
menginfeksi sel skuamosa metaplastik imatur pada squamo-columnar junction. Meskipun virus ini hanya dapat
menginfeksi sel skuamosa imatur, replikasi dari HPV tetap berlangsung pada sel
skuamosa yang semakin matang dan berujung pada efek sitopatik yaitu koilocytic atypia yang terdiri dari inti
atipia dan halo perinuklear sitoplasmik. Untuk bereplikasi, HPV harus
menginduksi sintesis DNA pada sel host. Karena HPV bereplikasi pada sel
skuamosa yang semakin matang namun tidak berproliferasi, maka virus ini berusaha
mereaktivasi siklus mitosis dalam sel tersebut. Studi menunjukkan bahwa HPV
mengaktivasi siklus sel dengan mengganggu fungsi dari Rb dan p53, dua gen
supresor tumor yang penting.
Protein
virus E6 dan E7 memiliki peran penting dalam efek onkogenik HPV. Protein E6
menginduksi degradasi dari p53 melalui proteolisis ubiquitin-dependen sedangkan
protein E7 membentuk kompleks dengan betuk aktif dari Rb, mempromosikan
proteolisis melalui jalur proteosome.
Cervical Intraepithelial Neoplasia
Cervical Intraepithelial
Neoplasia merupakan salah satu klasifikasi yang digunakan untuk membedakan
tingkat keparahan dari lesi prekanker. Pada saat HPV menginfeksi sel skuamosa
di serviks dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkembang menjadi kanker.
Awalnya terjadi displasia yang dibagi menjadi 3 berdasarkan tingkat
keparahannya (CIN 1-CIN 3).
Pada CIN I atau kondiloma datar terjadi displasia
ringan dengan perubahan koilositik, terutama di lapisan superfisial epitel.
Koilositik terbentuk karena angulasi nukleus yang dikelilingi oleh vakuolisasi
perinukleus akibat efek sitopatik virus.
Pada CIN II, displasianya lebih parah, mengenai
sebagian besar lapisan epitel. Kelainan ini berkaitan dengan variasi dalam
ukuran sel dan nukleus serta dengan mitosis normal di atas lapisan basal.
Perubahan ini disebut displasia sedang apabila terdapat maturasi epitel.
Lapisan superfisial masih berdiferensiasi baik, tetapi pada beberapa kasus
memperlihatkan perubahan koilositik.
Tingkat perubahan selanjutnya, yaitu CIN III, ditandai
dengan kekacauan orientasi sel disertai mitosis normal atau abnormal. Perubahan
ini mengenai hampir semua lapisan epitel dan ditandai dengan hilangnya
pematangan. Diferensiasi sel permukaan dan gambaran koilositik sudah tidak ada.
Seiring dengan waktu, perubahan displastik menjadi lebih atipikal dan mungkin
meluas ke dalam kelenjar serviks, tetapi masih terbatas di lapisan epitel dan
kelenjarnya. Perubahan ini menyebabkan karsinoma in situ. Selanjutnya, pada
stadium lanjut berubah menjadi karsinoma invasif.
Karsinoma
Serviks
Karsinoma
sel skuamosa (KSS) merupakan subtipe hitologik tersering pada kanker serviks
dimana mencakup sekitar 80% kasus. Setelah KSS, bentuk tumor yang lebih jarang
adalah adenokarsinoma yang mencakup 15% kasus dan yang paling jarang adalah
karsinoma neuroendokrin untuk 5% sisanya. Pasien dengan adenokarsinoma ataupun
karsinoma neuroendokrin memiliki prognosis yang lebih buruk dan penyakit yang
lebih advanced. Insidens puncak dari
karsinoma serviks adalah 45 tahun.
Berdasarkan penyebaran klinis, agresifitas tumor
serviks terbagi dalam stadium 1 hingga stadium 4. Setelah kanker terbentuk,
prognosis bergantung dari stadium. Stadium 0 (prainvasif) harapan hidupnya
100%, diikuti dengan stadium 1 sebesar 90%, stadium 2 sebesar 82%, stadium 3
sebesar 35%, dan stadium 4 hanya 10%. Kebanyakan pasien dengan stadium 4 mati
akibat ekstensi lokal dari tumor (misalnya, invasi ke kantong kemih dan ureter,
menyebabkan terjadinya obstruksi uretra, pielonefritis, dan uremia)
dibandingkan metastasis jauh.
Penyebaran ke kelanjar getah bening panggul ditentukan
oleh kedalaman tumor dan adanya invasi ruang kapiler-limfa, yang berkisar dari
kurang 1% untuk tumor dengan kedalaman kurang dari 3 mm hingga lebih dari 10%
setelah invasi melebihi 5 mm. Metastasis jauh, termasuk ke nodus para-aorta,
kelainan di organ jauh, atau invasi ke kandung kemih dan rektum terjadi pada
tahap lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar et al. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009
2. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass of gynecology. 6th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
1. Kumar et al. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2009
2. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass of gynecology. 6th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar